Entri Populer

Minggu, 18 Agustus 2013

SOSIOLOGI SASTRA MARXIS


A. Pengantar
    Marxisme adalah aliran pemikiran yang dikembangkan oleh Karl Marx dan Frederick Engels, dalam buku mereka yang  berjudul The German Ideology. Marxisme sebenarnya merupakan teori tentang ekonomi, sejarah, masyarakat, dan revolusi sosial. Dalam perkembangannya, marxisme sering kali digunakan sebagai dasar analisis sastra, sehingga muncullah istilah sosiologi sastra marxis. Dibandingkan dengan teori sosial lainnya, teori sosial marxis menduduki posisi yang dominan dalam segala diskusi mengenai sosiologi sastra (Hall, via Faruk, Faruk, 2003:5). Hal ini karena  (1) Marx sendiri pada mulanya adalah seorang sastrawan, sehingga teorinya tidak hanya memberikan khusus kepada kesusastraan, tetapi juga dipengaruhi oleh pandangan dunia romantik pada kesusastraan, (2) teori sosial Marx tidak hanya merupakan teori yang netral, melainkan mengandung pula ideologi yang pencaiaannya terus-menerus diusahakan oleh para penganutnya, (3) di dalam teori Marx terbangun suatu totalitas kehidupan sosial secara integral dan sistematik yang di dalamnya kesusastraan ditempatkan sebagai salah satu lembaga sosial yang tidak berbeda dari lembaga sosial lainnya, seperti ilmu pengetahuan, agama, politik, dan sebagainya.

Pengertian Sosiologi Sastra Marxis
    Sosiologi sastra marxis merupakan salah satu pendekatan sosiologi sastra yang mendasarkan pada teori marxis (marxisme). Menurut Marx dan Engels, dalam masyarakat terdapat dua buah struktur: infrastruktur dan superstruktur. Dalam masyarakat superstruktur memiliki   fungsi esensial untuk melegitimasi kekuatan kelas sosial yang memiliki alat produksi ekonomi, sehingga ide-ide dominan dalam masyarakat adalah ide-ide kelas penguasanya (Eagleton,2006). Produksi ide, konsep, dan kesadaran pertama kalinya secara langsung tidak dapat dipisahkan  dengan hubungan material antarmanusia, bahasa kehidupan nyata. Pemahaman, pemikiran, hubungan spiritual antarmanusia muncul sebagai rembesan langsung terhadap perilaku material manusia. Perilaku material tersebut dinamakan infrastruktur, sementara  ide, konsep, dan kesadaran merupakan superstruktur.
Marxisme menegaskan bahwa, bukan kesadaran yang menentukan kehidupan, tetapi kehidupanlah yang menentukan kesadaran. Hubungan sosial antarmanusia diikat dengan cara mereka memproduksi kehidupan materialnya. Jumlah total dari hubungan produksi ini merupakan struktur ekonomi masyarakat, landasan yang sesungguhnya yang meningkatkan legalitas dan superstruktur politis  dan sesuai dengan bentuk-bentuk  yang pasti dari kesadaran sosial. Landasan kehidupan material (infrastruktur) mengkondisikan proses kehidupan sosial, politik, dan intelektual (superstruktur).
Perkembangan masyarakat, tidak dapat dipisahkan dari kekuatan-kekuatan produktif. Menurut Marx (via Faruk, 2003:6-7) sejarah manusia berkembang dalam kaitannya dengan proses produksi yang ditandai dengan adanya konflik antarkelas. Masyarakat komunal primitif membuka jalan bagi masyarakat perbudakan, yang pada gilirannya berkembang menjadi feodalisme yang membuka jalan bagi munculnya kapitalisme. Dalam perkembangan masyarakat tersebut Marx (via Faruk, 2003:6-7) menguraikan bahwa setiap zaman dicirikan dan distrukturkan oleh tipe-tipe produksi dan pemikiran yang berhubungan dengannya. Pembagian masyarakat menjadi tuan dan budak, bangsawan dan hamba, pengusaha dan buruh, tidak hanya berakhir pada tatanan produksi, melainkan menjalar ke wilayah-wilayah kehidupan lain. Oleh karena itu, hubungan-hubungan sosial, lembaga-lembaga, hukum –hukum, agama, filsafat, dan kesusastraan, sebagai supertruktur masyarakat, mencerminkan dan terutama sekali ditentukan oleh infrastruktur masyarakat yang berupa hubungan produksi di atas.

B. Infrastruktur - superstruktur
Secara khusus, dalam teori marxism dikenal konsep infrastruktur dan superstruktur yang saling berkaitan. Infrastruktur mengacu pada kekuatan-kekuatan produktif atau basis meterial menjadi dasar dalam proses kehidupan sosial, politik, dan intelektual. Sementara superstruktur mengacu pada bentuk-bentuk kesadaran soaial yang riil: politik, agama, etika, estetika (seni dan sastra). Dalam pandangan marxisme, superstruktur  dipandang sebagai ideologi, yang keberadaannya tidak terlepas dari infrastruktur yang melahirkannya (Eagleton, 2006).
Dalam sebuah masyarakat hubungan antara infrastruktur dengan superstruktur merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dalam hal ini infrastruktur dapat dikatakan sebagai kulit luar, sementara superstruktur merupakan isinya.

C. Seni/ sastra merupakan Bagian dari Superstruktur
Seni/ sastra merupakan  bagian dari superstruktur masyarakat,  sehingga dalam memahami sastra berarti melalukan pemahaman terhadap seluruh proses sosial di mana sastra merupakan bagian darinya. Karya sastra, merupakan bentuk-bentuk persepsi, cara khusus dalam memandang dunia, dan juga memiliki relasi dengan  cara memandang realitas yang menjadi mentalitas atau ideologi sosial suatu zaman.
Meskipun seni (dan sastra) merupakan bagian dari ideologi masyarakat, namun Frederick Engels menegaskan bahwa seni jauh lebih kaya dan sulit untuk dipahami dibandingkan bentuk superstruktur lainnya seperti teori politik dan ekonomi, juga hukum yang cenderung secara trasparan lebih mewujudkan kelas penguasa. Karena seni (dan sastra) tidak benar-benar merupakan refleksi pasif dari basis ekonomi. Seni cenderung mempunyai hubungan khusus dengan ideologi. Seni dirangkum dalam ideologi, tapi juga mengatur jarak dirinya dari ideologi sampai ke titik di mana seni menungkinkan kita ‘merasa’ dan ‘merasakan’ ideologi dari mana seni itu berasal.

D. Beberapa Pandangan Pemikir Marxis mengenai Sastra

Karl Marx
Karl Heinrich Marx (Trier, Jerman, 5 Mei 1818 – London, 14 Maret 1883) adalah seorang filsuf, pakar ekonomi politik dan teori kemasyarakatan dari Prusia. Walaupun Marx menulis tentang banyak hal semasa hidupnya, ia paling terkenal atas analisisnya terhadap sejarah, terutama mengenai pertentangan kelas, yang dapat diringkas sebagai "Sejarah dari berbagai masyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah tentang pertentangan kelas", sebagaimana yang tertulis dalam kalimat pembuka dari Manifesto Komunis. Karl Marx lahir dalam keluarga Yahudi progresif di Trier, Prusia, (sekarang di Jerman). Ayahnya bernama Herschel, keturunan para rabi, meskipun cenderung seorang deis, yang kemudian meninggalkan agama Yahudi dan beralih ke agama resmi Prusia, Protestan aliran Lutheran yang relatif liberal, untuk menjadi pengacara. Herschel pun mengganti namanya menjadi Heinrich. Saudara Herschel, Samuel — seperti juga leluhurnya— adalah rabi kepala di Trier. Keluarga Marx amat liberal dan rumah Marx sering dikunjungi oleh cendekiawan dan artis masa-masa awal Karl ( wikipedia.org/wiki/Karl_Marx).
Marx terkenal karena analisis nya di bidang sejarah yang dikemukakan nya di kalimat pembuka pada buku ‘Communist Manifesto’ (1848) :” Sejarah dari berbagai masyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah tentang pertentangan kelas.” Marx percaya bahwa kapitalisme yang ada akan digantikan dengan komunisme, masyarakat tanpa kelas setelah beberapa periode dari sosialisme radikal yang menjadikan negara sebagai revolusi keditaktoran proletariat(kaum paling bawah di negara Romawi) (wikipedia.org/wiki/Karl_Marx).
Marx memandang sastra sebagaimana politik, ideologi, dan agama adalah wilayah superstruktur, keberadaannya bertumpu pada basis ekonomi (infrastruktur).  sastra haruslah berpijak dari realitas sosio historis.  Realitas sosio historis ditandai oleh perjuangan kelas, maka sastra harus diletakkan dalam kerangka perjuangan kelas proletar dalam rangka menghilangkan kelas.  karena kelas muncul sebagai akibat pemilikan pribadi, maka perjuangan kelas proletar lewat sastra juga dalam rangka menghilangkan pemilikan pribadi (Damono, 1979).
Dalam The German Ideology, Marx (via Faruk, 2003:8) menjelaskan hubungan antara seni dengan struktur ekonomi masyarakatnya sebagai infrastruktur, dipahami hanya dalam batas-batas kausalitas ekonomik yang ketat. Sebagai ideologi, seni dianggap tidak mempunyai otonomi sama sekali. Kehadirannya ditentukan oleh infrastrukturnya.

Frederick Engels
Menurut Engels,  sastra adalah cermin pemantul proses sosial, tetapi hubungan antara isi sastra (dan filsafat) lebih kaya dan samar-samar dibandingkan dengan isi politik dan ekonomi. Tendensi politik penulis dalam sastra, harus disajikan secara tersirat saja. Semakin tersembunyi pandangan si penulis, semakin bermutulah karya yang ditulisnya. Isi novel (:muatan ideologis) harus muncul secara wajar dalam situasi dan peristiwa yang ada di dalamnya. Setiap novelis yang berusaha mencapai realisme harus mampu menciptakan tokoh-tokoh yang representasif dalam karyanya, sebab realisme meliputi reproduksi tokoh-tokoh yang merupakan tipe dalam peristiwa yang khas pula. Di samping itu, menurut  Engels, sastra haruslah tetap menunjukkan keartistikannya, tidak semata-mata alat perjuangan kelas (Damono, 1979).
Dari pandangan tersebut tampak bahwa  hubungan antara sastra dengan infrastrukturnya tidak bersifat langsung dan vulgar, tetapi bersifat simbolis (tersebunyi). Dengan demikian, untuk memahami hubungan tersebut, seorang pembaca dan peneliti sastra harus menginterpretasikan simbol dan bahasa estetik yang digunakan pengarang dalam karya sastranya

Georgy Plekanov
Georgy Valentinovich Plekanov (11 Desember 1857 - 30 Mei 1918), adalah seorang revolusioner sekaligus pendiri organisasi marxisme pertama di Rusia : Kelompok Emansipasi Buruh (Emancipation of Labour group); dan dikenal sebagai "Bapak Marxisme Rusia". Karya-karya terbaiknya pada bidang sejarah, filsafat, estetika, sosial, dan politik, khususnya filsafat materialisme historis, merupakan kontribusi yang sangat berharga bagi perkembangan pemikiran ilmiah dan budaya progresif. Setelah Kelompok Emansipasi Buruh dibubarkan, Plekanov kemudian bergabung dengan RSDLP, Partai Demokrasi Sosial Rusia. Karya-karyanya antara lain adalah Socialism and the Political Struggle (1883), Our Differences (1885), A New Champion of Autocracy (1889), The Development of the Monist View of History (1895), Anarchism and Socialism (1895), Anarkisme dan Sosialisme (Diterbitkan kembali oleh Ultimus, 2006, Bandung) (Wikipedia Indonesia), Belinski and Rational Reality (1897), The Materialist Conception of History (1891).
Georgei Plekanov menyatakan bahwa  dalam sastra, gagasan yang mengandung muatan ideologis harus dinyatakan secara figuratif, sesuai dengan kenyataan yang melingkunginya. Seni adalah cermin kehidupan sosial, tetapi memiliki insting estetik yang sama sekali nonsosial dan tak terikat pada kondisi sosial tertentu (Damono, 1979).
Dari pendapat tersebut tampak bahwa Plekanov memiliki pandangan yang mirip dengan Engels mengenai hubungan antara sastra dengan infrastrukturnya. Dimensi estetis sastra yang nonsoaial merupakan hal yang harus dipertimbangkan dalam membaca dan menilai sastra.

4. Leo Tolstoy
     Leo Tolstoy adalah salah seorang sastrawan Rusia terkenal. Nama lengkapnya adalah Lyev Nikolayevich Tolstoy. Dia lahir di Yasnaya, Tula, Rusia tanggal 28 Agustus 1828 dari sebuah keluarga ningrat. Sejak umur 9 th orang tuanya meninggal sehingga ia dibesarkan dalam asuhan bibinya. Meskipun berasal dari keluarga ningrat, Tolstoy tidak menjadi angkuh dan ingin dihormati, justru sebaliknya ia dikenal sebagai filsuf moral dan reformator sosial. Pada saat itu sedang terjadi tekanan revolusi sosial, dimana orang kaya dari kelompok ningrat hidup dalam kemewahan dan pesta pora. Sementara kaum petani dan lainnya yang miskin hidup dalam kesengsaraan. Umur 16, Tolstoy kuliah di Univ. of Kazan, untuk belajar bahasa dan hukum, namun karena bosan ia keluar dari sekolah itu. Meski demikian, latar belakang pendidikan hukum membuat Tolstoy mengerti praktek- praktek kehidupan yang menyimpang. Kaum ningrat, bangsawan kaya yang hidup dalam kemewahan, ternyata tidak selamanya memperoleh semua kekayaan itu dengan cara yang benar www.answers.com/topic/leo-tolstoy.htm.
Tolstoy secara luas dianggap sebagai salah seorang novelis yang terbesar, khususnya karena adi karyanya Perang dan Damai dan Anna Karenina. Dalam cakupan, luasnya, dan gambarannya yang realistik mengenai kehidupan Rusia, kedua buku ini berdiri pada puncak fiksi realistik.  Fiksinya secara konsisten berusaha menyampaikan secara realistik masyarakat Rusia yang ada pada masanya. Orang-orang Kosak (1863) menggambarkan kehidupan dan keadaan bangsa Kosak melalui cerita tentang seorang bangsawan Rusia yang jatuh cinta dengan seorang gadis Kosak. Anna Karenina (1877) mengisahkan cerita-cerita perumpamaan tenang seorang perempuan yang berzinah, yang terjebak oleh kebiasaan dan kepalsuan masyarakat, serta tentang seorang pemilik tanah yang filosofis (mirip sekali dengan Tolstoy), yang bekerja bersama-sama dengan para penggarap di ladang dan berusaha memperbarui hidup mereka (Wikipedia Indonesia).
Karena berpandangan bahwa sastra harus menyampaikan secara realistik keadaan masyarakat, maka dia menyatakan bahwa doktrin seni untuk seni harus dihancurkan. Seni harus merupakan monitor dan propaganda proses sosial (Damono, 1979). Pandangan ini mendukung apa yang sudah dikemukakan oleh Marx bahwa seni dianggap tidak mempunyai otonomi sama sekali. Kehadirannya ditentukan oleh infrastrukturnya. Estetika sastra yang dianggap sebagai ciri yang yang bagi Engels dan Plekanov tidak boleh dilupakan dalam sastra, bagi Toltoy dianggap tidak penting.
Dalam pandangan Tolstoy tampak jelas dibedakan antara pandangan seni untuk seni dan seni untuk masyarakat. Pendapatnya yang tegas bahwa seni untuk seni harus dihancurkan, menunjukkan bahwa kehadiran seni dalam masyarakat bukanlah semata-mata sebagai karya estetis, tetapi yang lebih penting sebagai sarana bagi monitor dan propaganda proses sosial. Dalam hal ini sastra ditempatkan sebagai gejala kedua. Dia hanya dianggap sebagai sarana atau alat bagi kepentingan sosial, khususnya kampanye (propaganda) proses sosial, sarana perjuangan kelas menuju masyarakat tanpa kelas.

5. Vladimir Ilyich Lenin
Lenin lahir di Simbirsk, Rusia, sebagai anak dari Ilya Nikolaevich Ulyanov (1831 - 1886), seorang pegawai negeri Rusia yang berjuang untuk meningkatkan demokrasi dan pendidikan bebas untuk semua orang di Rusia (wikipedia.org/wiki Lenin). Lenin dikenal ebagai seorang pemimpin politik dan Komunisme di Rusia. Sebagai penganut Karl Marx yang gigih dan setia, Lenin meletakkan dasar politik yang hanya bisa dibayangkan oleh Karl Marx seorang. Lenin lahir di Simbirsk (kini ganti jadi Ulyanovsk untuk menghormatinya) pada tahun 1870. Ayahnya seorang pegawai negeri yang patuh tetapi kakaknya Alexander adalah seorang radikal yang dijatuhi hukuman mati karena ambil bagian dalam komplotan mau bunuh Tsar. Pada umur dua puluh tiga Lenin sudah menjadi seorang Marxis yang berkobar-kobar. Bulan Desember 1895 dia ditahan oleh pemerintah Tsar karena kegiatan revolusionernya dan dijebloskan ke dalam penjara selama empat belas bulan. Sesudah itu dia dibuang ke Siberia.
Selama tiga tahun di Siberia (yang tampaknya tidak digubrisnya sebagai siksaan) dia kawin dengan wanita yang juga berfaham revolusioner dan menulis buku Pertumbuhan Kapitalisme di Rusia. Masa pembuangannya di Siberia berakhir bulan Februari 1900 dan beberapa bulan kemudian Lenin melakukan perjalanan ke Eropa Barat. Tak kurang dari tujuh belas tahun lamanya dia berkelana, menjadi seorang mahaguru revolusioner. Tatkala Partai Buruh Sosial-Demokrat Rusia dimana Lenin jadi anggota pecah jadi dua bagian, Lenin jadi pimpinan pecahan yang lebih besar, Bolsheviks.
Perang Dunia I membuka peluang besar buat Lenin. Perang ini membawa malapetaka baik militer maupun ekonomi bagi Rusia dan akibatnya menambah ketidakpuasan rakyat kepada sistem pemerintahan Tsar. Akhirnya pemerintah Tsar ini digulingkan di bulan Maret tahun 1917 dan untuk sementara waktu tampaknya Rusia dipimpin oleh sebuah pemerintah demokratis. Begitu mendengar kejatuhan Tsar, Lenin buru-buru pulang ke .Rusia dan sesampainya di negeri asalnya ia dengan cepat dapat melihat dan mengambil kesimpulan bahwa partai-partai demokratis --walau sudah mendirikan pemerintahan sementara-- tak punya daya kekuatan cukup dan kondisi ini sangat baik buat partai Komunis yang punya pegangan disiplin kuat untuk menguasai keadaan biarpun anggotanya sedikit. Karena itu Lenin mendorong kaum Bolshevik melompat kedepan mengguhngkan pemerintahan sementara dan menggantinya dengan pemerintahan Komunis. Percobaan pemberontakan di bulan Juli tidak berhasil dan memaksa Lenin menyembunyikan diri. Percobaan kedua di bulan Nopember 1917 berhasil dan Lenin menjadi kepala negara baru.
Selaku kepala pemerintahan, Lenin keras tetapi di lain pihak dia amat pragmatis. Mula-mula dia ajukan tekanan yang tak kenal kompromi adanya masa transisi singkat menuju masyarakat yang ekonominya sepenuhnya berdasar sosialisme. Ketika ini tidak jalan, dengan luwes Lenin mundur dan mengambil jalan sistem ekonomi campuran kapitalis-sosialistis. Ini berjalan di Uni Soviet selama beberapa tahun.
Di bulan Mei 1922 Lenin sakit keras sehingga antara serangan sakit itu hingga wafatnya tahun 1924 praktis Lenin tidak bisa berbuat apa-apa. Begitu wafat, jasadnya dengan cermat dibalsem dan dipelihara, dibaringkan di musoleum di Lapangan Merah hingga saat ini. Ciri penting dari Lenin adalah dia seorang yang cepat bertindak sehingga dialah orang yang mendirikan pemerintahan Komunis di Rusia. Dia menganut ajaran Karl Marx dan menterjemahkannya dalam bentuk tindakan politik praktis yang nyata. Sejak bulan Nopember 1917 telah terjadi ekspansi kekuatan Komunis ke seluruh dunia. Kini, sekitar sepertiga penduduk dunia menganut faham Komunis.
Lenin  dikenal sebagai salah seorang marxis terkemuka, sekaligus juga pemimpin revolusi Rusia. Pandangannya tentang sastra senada dengan pandangan Tolstoy. Menurutnya,   sastra harus menjadi sebagian dari perjuangan kaum proletar. Sastra harus menjadi sekrup kecil dalam mekanisme sosial demokratik (Damono, 1979).
Pandangan Lenin mengenai sastra lebih dikenal sebagai pandangan realisme sosialis –aliran seni marxis yang lahir di Rusia-, yang mencoba memaparkan realitas yang berusaha membangun masa depan sosialis dan komunis. Aliran seni realisme sosialis ini berkembang di Rusia sejalan dengan gerakan sosialis (Kurniawan, 1999:73).

6. Georg Lukacks
    Lukacs adalah seorang filsuf dan kririkus sastra Hungaria, profesor estetika dan filsafat kebudayaan pada Universitas Budapest. Lukacs menekankan hubungan-hubungan  sosial sebagai dasar estetikanya. Sejak manusia ada, menurutnya, hanya dalam konteks sosial dan sejarah sajalah estetika tanpa bisa dielakkan dipengaruhi oleh politik (Kurniawan, 1999:68).
    Menurutnya, sastra haruslah dinamis, menata karakter-karakter dalam perspektif sejarah serta seharusnya meperlihatkan arah, perkembangan, dan motivasi. Agar sastra menjadi dinamis, gerak sejarah utama saat itu haruslah diperhitungkan. Gaya sastra kontemporer (abad XX) yang benar, menurutnya hanyalah realisme sosialis, yang secara praktis berdampingan dengan gerakan sosialisme. Di samping itu, Lucaks memperkenalkan istilah realisme kritis, untuk seni yang dipraktikkan oleh para pengarang yang bersimpati pada sosialisme (Kurniawan, 1999:68).
    Realisme kritis yang dianut Lucaks, ingin lebih konsisten melakukan protes terhadap sistem kapitalisme. Menurutnya, para borjuis dan kapitalisme sebagai musuh utama. Kapitalisme tidak saja telah membuat pertentangan kelas yang makin melebar antara pemilik modal dan buruh, tetapi juga telah memalsukan kesadaran manusia, hingga menilai kehidupan melulu dalam ukuran-ukuran materi. Dalam masyarakat kapitalis, seni telah direduksi sedemikian rupa sehinga hanya menjadi komoditas (Kurniawan, 1999:71).
    Untuk menjelaskan hubungan antara sastra dengan realitas, Lucaks memperlakukan karya sastra sebagai refleksi dari sistem yang terbuka. Artinya, sebuah karya sastra realis harus membukakan pola pokok kontradiksi-kontradiksi dalam suatu tatanan sosial (Selden, 1991:27). Dalam hal ini Lukacs mengunakan istilah “refleksi” sebagai ciri khusus keseluruhan karyanya. Menurutnya, novel mencerminkan realitas, tidak dengan melukiskan wajah yang hanya tampak di permukaan, tetapi dengan memberikan kepada kita sebuah perncerminan realitas yang benar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik.  Mencerminkan realitas, dalam pengertian Lukacs  adalah menyusun “sebuah  struktur mental” yang diubah urutannya ke dalam kata-kata (Selden, 1991:27). Lukacs menyadari bahwa sebagai sebuah pencerminan, mungkin apa yang digambarkan dalam karya sastra lebih atau kurang konkret. Namun, menurutnya sebuah novel mungkin membawa pembaca ke arah suatu pandangan yang lebih konkret kepada realitas, yang melebihi sebuah penangkapan benda-benda menurut pandangan umum semata-mata. Hal ini karena sebuah karya sastra tidak hanya mencerminkan fenomena individual secara terasing, tetapi merupakan proses   hidup yang penuh. Bagaimanapun juga pembaca selalu sadar bahwa karya sastra itu bukan realitas itu sendiri, melalinkan lebih merupakan  bentuk khusus yang mencerminkan realitas (Selden, 1991:27).

7. Bertold Brecht
    Bertold Brecht adalah salah seorang penyair Jerman dengan nama lengkap Eugen Bertold Friedrich.  Brecht lahir di kota Augsburg pada 10 Februari 1898. Ia anak seorang direktur perusahaan kertas. Pada awal kariernya, yakni ketika ia berusia 14 tahun sudah mulai menulis sajak dengan judul ”Pohon yang Terbakar” (Der brennende Baum).Kemudian dengan menggunakan pseudonim  Eugen Brecht ia tulis naskah drama berjudul ”Alkitab”  (Die Bibel) pada majalah sekolah Die Ernte. Pada waktu Perang Dunia I pecah tahun 1914, Brecht masih duduk di SMA dan mulai aktif menuliskan sajak-sajak patriotik, juga pada lembaran-lembaran kartu pos. Pada tahun yang sama sajak Brecht pertama kali dimuat koran lokal Augsburger Neuesten Nachrichten.
    Brecht mulai berkenalan dengan komunisme sejak tahun 1919, namun ia benar-benar mendalami ajaran marxisme pada tahun 1927 dan mulai dianggap sebagai sastrawan kiri yang revolusioner. Meskipun demikian, ia tak pernah menjadi anggota partai. Karya-karyanya baik berupa sajak maupun naskah drama lebih banyak mengusung tema kemanusiaan serta kritik pada kelas borjuis. Sejak tahun 1923, nama Brecht mulai dikenal luas di kalangan sastrawan.




E. Pembacaan Sosiologi Sastra Marxis  terhadap Tetralogi Bumi Manusia oleh Pamela Allen
    Contoh kajian sosiologi sastra marxis pernah dilakukan oleh Pamela Allen dalam bukunya Membaca dan Membaca Lagi, Reinterpretasi Fiksi Indonesia 1980-1995 (2004), khususnya bagian kedua: Kisah-kisah Nasion (I)-Realisme Sosialis (h. 23-62). Setelah mengawali uraiannya dari kedudukan Pramudya Ananta Toer dalam peta sejarah sastra dan politik di Indonesia, Allen mencoba menguraikan interpretasinya mengenai tetralogi Bumi Manusia yang dibaca sebagai manifesto dari posisi filosofis, keterlibatan politik, dan visi Pramudya untuk masa depan. Menurut Allen, benih dari novel itu bisa ditemukan dalam suatu esai yang ditulis Pramudya sekitar duapuluh tahun sebelum Bumi Manusia terbit. Judul esai tersebut adalah “Dengan Datangnya Lenin Bumi Manusia Lebih Kaya”. Dalam esai tersebut, dengan menyinggung kekaguman Bertrand Russell terhadap Lenin dan Einstein, Pramudya menulis, “abad kita sekarang, adalah abad Rakyat dan Ilmu Pengetahuan”.
    Melalui pembacaan yang menggunakan perspektif marxisme, Allen (2004:44) mengemukakan bahwa peran pengarang  dan kekuatan kata dalam melawan penindasan dan kezaliman merupakan tema yang meresap dari tetralogi tersebut. Menurut Allen, setelah dipenjara pada 1965 Pramudya memutuskan suatu sikap untuk menggunakan kata-kata daripada senjata untuk membela dirinya sendiri. 
Dalam novel Jejak Langkah, Allen (2004:47) melihat bahwa tokoh Minke mulai mencari pendekatan efektif untuk mengembalikan agenci (perwakilan) kepada rakyat, dengan menggunakan tiga strategi utama, yaitu: organisasi massa, boikot, dan penghapusan praktik budaya Jawa yang feodal. Tokoh Hendrik Frischboten menggambarkan boikot sebagai perwujudan kekuatan dari golongan lemah. Kekuatan besar dari boikot itu ditunjukkan ketika semua pedagang Tionghoa, mula-mula di surabaya dan kemudian di kota-kota lain menolak mengambil barang dagangan dari perusahaan dagang besar Eropa, yang lalu menyebabkan banyak yang gulung tikar. Minke jadi gembira oleh kekacauan besar yang diakibatkab oleh boikot total terhadap pemerintah kolonial oleh Hindia Belanda yang bersatu, dan oleh kekuatan yang dapat diberikan kepada rakyat oleh boikot semacam itu. Ia diilhami oleh keberhasilan gerakan petani Samin yang membangkang membayar pajak.
Allen (2004:47-48) melihat organisasi yang diikuti Minke sebagai cara mendidik yang efektif, dan dengan itu akan mengembalikan agensi kepada rakyat. Namun, organisasi dan boikot itu sendiri tidak akan memberi kekuatan kepada rakyat, tanpa ada aturan dasarnya. Setelah menetapkan aturan dasar untuk boikot dan organisasi, peran Minke terutama menghancurkan halangan yang telah merekatkan bangsanya dalam feodalisme, yaitu halangan seperti bahasa Jawa dan sistem pangkat, ketergantungan rakyat pada Mahabharata sebagai pedoman hidup, dan takhayul yang tidak relevan.
Berdasarkan sebagian kutipan tersebut, tampak bagaimana Pamela Allen mencoba memaknai tetralogi Bumi Manusia dengan menggunakan perspektif marxisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar