Entri Populer

Selasa, 28 Februari 2012

KAU SEMBUNYI DARI MATA-TELINGAKU

inilah kematianmu; kau sembunyi dari sepasang mataku
menguji seberapa panjang bentang ingatan di kepalaku
tentang percakapan magrib itu; percakapan tentang perempuan
yang kau cintai, namun tak mampu kau katakan padanya, kecuali
pada selembar gambarnya yang kau selip di buku harianmu.
inilah kematianmu; kau sembunyi dari sepasang telingaku
menguji seberapa lama getar-getar suaramu bergema
tentang sebuah tengah malam; kau tiba-tiba terbangun dari tidur
dan tertawa lepas keras-keras menganggap dirimu lucu
lalu memelukku sambil menangis seperti anak kecil yang besar.

DI MANAKAH GERANGAN BERMULA

WAKTU kanak-kanak dulu aku selalu bertanya-tanya
di manakah gerangan bermula jalan bercecabang itu.
Lalu seorang lelaki tua di paragraf pertama novelnya
menyimpan sebuah jawaban buat rasa penasaranku.
“Jalan-jalan diciptakan dari sekelok sungai,” katanya.
Aku percaya setiap rasa penasaran mengandung bahaya.
Jawaban itu kemudian membawaku ke pertanyaan baru.
Di mana bermula sungai yang melahirkan jalan-jalan itu?
Seorang gadis, dengan tangis, menjawab pertanyaanku.
“Sungai diciptakan dari sepasang mata,” katanya lalu pergi.
Pertanyaan tak pernah mau habis. Selanjutnya tentang mata.
Tetapi siapakah yang bisa menjawabnya? Gadis itu tiada lagi.
Maka aku menangis berharap mampu menemukan jawaban
dari mataku sendiri. Tetapi yang terjadi adalah airmataku
hanya melahirkan ribuan kelokan sungai yang melahirkan
jutaan cabang jalan. Dan asal mula mata tetap pertanyaan.
Setiap rasa penasaran memanglah mengandung bahaya.
Maka aku berdiri, berjalan, berlari mencari sendiri gadis itu,
gadis yang pernah memberi jawaban dan harapan padaku,
harapan yang pelan-pelan mengekal menjadi kehilangan.
Seluruh cabang-cabang jalan telah aku lewati, tetapi tidak
kutemukan cabang jalan mana yang menyembunyikannya.
Maka aku kembali menangis. Dan mataku menciptakan sungai.
Dan sungai itu menciptakan cabang-cabang jalan. Dan cabang-
cabang jalan itu menciptakan kehilangan. Dan kehilangan itu
membuat aku menangis. Dan mataku kembali menciptakan
sungai baru. Dan sungai baru itu menciptakan cabang-cabang
jalan baru. Dan cabang-cabang jalan baru itu menciptakan
kehilangan baru. Dan kehilangan baru itu membuat aku sekali
lagi menangis. Dan mataku sekali lagi menciptakan sungai baru.
Dan sungai baru itu sekali lagi menciptakan cabang-cabang jalan
baru. Dan cabang-cabang jalan itu sekali lagi menciptakan kehilangan
baru. Dan kehilangan baru itu sekali lagi membuat aku kembali
menangis. Dan seterusnya, dan seterusnya…

BERSAMA MARIE SOFIE DI SEBUAH DESA



Marie Sofie, sejenak lupakan saja bahasa Prancis
yang susah mengalir di bibir orang-orang Bugis
Akan kuajari kau beberapa kata,
mereka bicara dengan bahasa
masa kecilku yang sederhana
“Oui, merci.”
Marie Sofie, merci n’est pas buginese.
Terima kasih bukan di lidah tapi di mata
Jika mereka menyuguhimu secangkir teh
reguk manisnya dan tersenyumlah
sebagai batang-batang tebu tua
itulah terima kasih yang mereka ketahui
Bertamulah seperti anaknya baru pulang rantau
mereka tak menunggu buah tangan darimu
atau kenang-kenangan saat kau tinggalkan
Tak perlu berjanji kapan-kapan akan datang
mereka yakin penuh engkau akan pulang
seperti nasi dan sayur mereka hilang
seluruh kau simpan dalam kenang.

MENGENANG

kini aku ada di sisi tidurmu
ingin bertanya satu rahasia
apakah kau suka berjalan
sambil tidur?
kau datang setiap malam
menemaniku berbincang
tetapi matamu terpejam

KENYATAAN


(Awal dari perjalanan seakan aku menjadi bayi yang lahir tanpa irama)
Aku membawa tubuh ringkih seperti pohon yang sebentar lagi tumbang
Atau seperti gamelan air yang hilang di tepi pagi
Di tepi pagi yang akrab dengan disentri
Telah hilang dongeng Ibu,.
Atau kelembutan tangan nenek untuk mencari kutu
Begitu aku kehilangan semua kenangan
Kehilangan semua yang aku cintai
Ringkih tubuh adalah perjalanan mencari kearipan
Sebelum tenggelam dan hilang

Resah..


"Aku terlahir kembali di pagi nanti
Merintis kembali sebuah harap yang pernah tertunda
Karena gelapnya malam, yang membuatku terdiam lama
Dalam sebuah angan,.
Angan-angan yang selalu mendahului kenyataan
Bahkan sampai nyaris kalahkan logika
yang seharusnya tertuang nyata dalam sebuah ikatan

Kini malamku pun seperti layaknya persidangan
selalu bergelut dengan rasa yang menggebu
Mungkin tepatnya bukan sebuah persidangan lagi
Karena dasarnya pun tak jelas,.
Hanya sebuah sebuah dilema atau kebimbangan saja
Tentang benar dan salah, atau perbedaan rasa yang ada
Antara ketulusan atau hanya nafsu belaka...