Sabtu, 07 April 2012
Sebuah Ruang Bernama Keheningan
Pada pepohonan merunduk
tersimpan kisah tentang angin
hujan panas dan unggas
patah sayap di sisi hari
Awan mendadak
tersibak matahari
Kalau ada yang berharga dari kehidupan
Maka itu adalah dedaunan
Menjulur setia pada cahaya
Menyerahkan diri tanpa kata-kata
Sebab musim tak bisa berbuat lain
Selagi udara menggenang cuaca mengambang
Mengembalikan pepohonan kepada tidur
Pada mata kampak dan maut segenap penjuru
Maka seluruh pepohonan bergetar
Melabuhkan butir demi butir air mata
Kisah-kisah yang menebalkan duka
Sebelum jarak menyimpan rahasia kematian
Di sebuah ruang bernama keheningan
tersimpan kisah tentang angin
hujan panas dan unggas
patah sayap di sisi hari
Awan mendadak
tersibak matahari
Kalau ada yang berharga dari kehidupan
Maka itu adalah dedaunan
Menjulur setia pada cahaya
Menyerahkan diri tanpa kata-kata
Sebab musim tak bisa berbuat lain
Selagi udara menggenang cuaca mengambang
Mengembalikan pepohonan kepada tidur
Pada mata kampak dan maut segenap penjuru
Maka seluruh pepohonan bergetar
Melabuhkan butir demi butir air mata
Kisah-kisah yang menebalkan duka
Sebelum jarak menyimpan rahasia kematian
Di sebuah ruang bernama keheningan
Rabu, 04 April 2012
SURAT UNTUK SAHABAT
Sahabatku,
Mungkin mulut tak dapat menyapamu,
mungkin kata tidak terangkai khusus untukmu,
dan pasti tangan tak bisa berjabat dan mata tak dapat saling memandang.
Akan tetapi, kuyakinkan engkau akan satu hal ini;
Tidak membalasmu bukan berarti tidak membaca goresan hatimu dalam tulisanmu. Kadang aku membiarkan engkau untuk mengambil sendiri mutiara di dalam kulit kerangnya yang keras dan tajam, daging manis durian yang terbungkus dengan kulitnya yang berduri, dan menimbah sendiri air kehidupan dari Sumber Kehidupan itu.
Karena itu, kalaupun aku lupa untuk menyapa dan membalasmu, maka percayalah bahwa saat itulah Tuhan akan menggantikan aku di sisimu sebagai seorang sahabat.
Mungkin mulut tak dapat menyapamu,
mungkin kata tidak terangkai khusus untukmu,
dan pasti tangan tak bisa berjabat dan mata tak dapat saling memandang.
Akan tetapi, kuyakinkan engkau akan satu hal ini;
Tidak membalasmu bukan berarti tidak membaca goresan hatimu dalam tulisanmu. Kadang aku membiarkan engkau untuk mengambil sendiri mutiara di dalam kulit kerangnya yang keras dan tajam, daging manis durian yang terbungkus dengan kulitnya yang berduri, dan menimbah sendiri air kehidupan dari Sumber Kehidupan itu.
Karena itu, kalaupun aku lupa untuk menyapa dan membalasmu, maka percayalah bahwa saat itulah Tuhan akan menggantikan aku di sisimu sebagai seorang sahabat.
Jumat, 16 Maret 2012
-keras sekali takdir kita di dunia yang busuk ini-
aku membenci dunia dan sekutu-sekutunya
menelantarkanku begitu saja
pada hidup yang begitu-begitu saja
sesekali kami berdamai juga
sebab kebencian tidak terletak
pada soal maaf-memaafkan
tetapi untuk kesempatan dan kesempatan
yang kumiliki saat ini hanyalah
kesadaran bahwa aku tak sedang memiliki
maka biarkanlah aku pulang
melepas segala kelana
sejenak dari tubuhku.
menelantarkanku begitu saja
pada hidup yang begitu-begitu saja
sesekali kami berdamai juga
sebab kebencian tidak terletak
pada soal maaf-memaafkan
tetapi untuk kesempatan dan kesempatan
yang kumiliki saat ini hanyalah
kesadaran bahwa aku tak sedang memiliki
maka biarkanlah aku pulang
melepas segala kelana
sejenak dari tubuhku.
Selasa, 28 Februari 2012
KAU SEMBUNYI DARI MATA-TELINGAKU
inilah kematianmu; kau sembunyi dari sepasang mataku
menguji seberapa panjang bentang ingatan di kepalaku
tentang percakapan magrib itu; percakapan tentang perempuan
yang kau cintai, namun tak mampu kau katakan padanya, kecuali
pada selembar gambarnya yang kau selip di buku harianmu.
inilah kematianmu; kau sembunyi dari sepasang telingaku
menguji seberapa lama getar-getar suaramu bergema
tentang sebuah tengah malam; kau tiba-tiba terbangun dari tidur
dan tertawa lepas keras-keras menganggap dirimu lucu
lalu memelukku sambil menangis seperti anak kecil yang besar.
menguji seberapa panjang bentang ingatan di kepalaku
tentang percakapan magrib itu; percakapan tentang perempuan
yang kau cintai, namun tak mampu kau katakan padanya, kecuali
pada selembar gambarnya yang kau selip di buku harianmu.
inilah kematianmu; kau sembunyi dari sepasang telingaku
menguji seberapa lama getar-getar suaramu bergema
tentang sebuah tengah malam; kau tiba-tiba terbangun dari tidur
dan tertawa lepas keras-keras menganggap dirimu lucu
lalu memelukku sambil menangis seperti anak kecil yang besar.
DI MANAKAH GERANGAN BERMULA
WAKTU kanak-kanak dulu aku selalu bertanya-tanya
di manakah gerangan bermula jalan bercecabang itu.
Lalu seorang lelaki tua di paragraf pertama novelnya
menyimpan sebuah jawaban buat rasa penasaranku.
di manakah gerangan bermula jalan bercecabang itu.
Lalu seorang lelaki tua di paragraf pertama novelnya
menyimpan sebuah jawaban buat rasa penasaranku.
“Jalan-jalan diciptakan dari sekelok sungai,” katanya.
Aku percaya setiap rasa penasaran mengandung bahaya.
Jawaban itu kemudian membawaku ke pertanyaan baru.
Di mana bermula sungai yang melahirkan jalan-jalan itu?
Seorang gadis, dengan tangis, menjawab pertanyaanku.
Jawaban itu kemudian membawaku ke pertanyaan baru.
Di mana bermula sungai yang melahirkan jalan-jalan itu?
Seorang gadis, dengan tangis, menjawab pertanyaanku.
“Sungai diciptakan dari sepasang mata,” katanya lalu pergi.
Pertanyaan tak pernah mau habis. Selanjutnya tentang mata.
Tetapi siapakah yang bisa menjawabnya? Gadis itu tiada lagi.
Maka aku menangis berharap mampu menemukan jawaban
dari mataku sendiri. Tetapi yang terjadi adalah airmataku
hanya melahirkan ribuan kelokan sungai yang melahirkan
jutaan cabang jalan. Dan asal mula mata tetap pertanyaan.
Tetapi siapakah yang bisa menjawabnya? Gadis itu tiada lagi.
Maka aku menangis berharap mampu menemukan jawaban
dari mataku sendiri. Tetapi yang terjadi adalah airmataku
hanya melahirkan ribuan kelokan sungai yang melahirkan
jutaan cabang jalan. Dan asal mula mata tetap pertanyaan.
Setiap rasa penasaran memanglah mengandung bahaya.
Maka aku berdiri, berjalan, berlari mencari sendiri gadis itu,
gadis yang pernah memberi jawaban dan harapan padaku,
harapan yang pelan-pelan mengekal menjadi kehilangan.
Seluruh cabang-cabang jalan telah aku lewati, tetapi tidak
kutemukan cabang jalan mana yang menyembunyikannya.
Maka aku kembali menangis. Dan mataku menciptakan sungai.Maka aku berdiri, berjalan, berlari mencari sendiri gadis itu,
gadis yang pernah memberi jawaban dan harapan padaku,
harapan yang pelan-pelan mengekal menjadi kehilangan.
Seluruh cabang-cabang jalan telah aku lewati, tetapi tidak
kutemukan cabang jalan mana yang menyembunyikannya.
Dan sungai itu menciptakan cabang-cabang jalan. Dan cabang-
cabang jalan itu menciptakan kehilangan. Dan kehilangan itu
membuat aku menangis. Dan mataku kembali menciptakan
sungai baru. Dan sungai baru itu menciptakan cabang-cabang
jalan baru. Dan cabang-cabang jalan baru itu menciptakan
kehilangan baru. Dan kehilangan baru itu membuat aku sekali
lagi menangis. Dan mataku sekali lagi menciptakan sungai baru.
Dan sungai baru itu sekali lagi menciptakan cabang-cabang jalan
baru. Dan cabang-cabang jalan itu sekali lagi menciptakan kehilangan
baru. Dan kehilangan baru itu sekali lagi membuat aku kembali
menangis. Dan seterusnya, dan seterusnya…
BERSAMA MARIE SOFIE DI SEBUAH DESA
Marie Sofie, sejenak lupakan saja bahasa Prancis
yang susah mengalir di bibir orang-orang Bugis
Akan kuajari kau beberapa kata,
mereka bicara dengan bahasa
masa kecilku yang sederhana
“Oui, merci.”
Marie Sofie, merci n’est pas buginese.
Terima kasih bukan di lidah tapi di mata
Jika mereka menyuguhimu secangkir teh
reguk manisnya dan tersenyumlah
sebagai batang-batang tebu tua
itulah terima kasih yang mereka ketahui
Bertamulah seperti anaknya baru pulang rantau
mereka tak menunggu buah tangan darimu
atau kenang-kenangan saat kau tinggalkan
Tak perlu berjanji kapan-kapan akan datang
mereka yakin penuh engkau akan pulang
seperti nasi dan sayur mereka hilang
seluruh kau simpan dalam kenang.
yang susah mengalir di bibir orang-orang Bugis
Akan kuajari kau beberapa kata,
mereka bicara dengan bahasa
masa kecilku yang sederhana
“Oui, merci.”
Marie Sofie, merci n’est pas buginese.
Terima kasih bukan di lidah tapi di mata
Jika mereka menyuguhimu secangkir teh
reguk manisnya dan tersenyumlah
sebagai batang-batang tebu tua
itulah terima kasih yang mereka ketahui
Bertamulah seperti anaknya baru pulang rantau
mereka tak menunggu buah tangan darimu
atau kenang-kenangan saat kau tinggalkan
Tak perlu berjanji kapan-kapan akan datang
mereka yakin penuh engkau akan pulang
seperti nasi dan sayur mereka hilang
seluruh kau simpan dalam kenang.
MENGENANG
kini aku ada di sisi tidurmu
ingin bertanya satu rahasia
apakah kau suka berjalan
sambil tidur?
kau datang setiap malam
menemaniku berbincang
tetapi matamu terpejam
ingin bertanya satu rahasia
apakah kau suka berjalan
sambil tidur?
kau datang setiap malam
menemaniku berbincang
tetapi matamu terpejam
KENYATAAN
(Awal dari perjalanan seakan aku menjadi bayi yang lahir tanpa irama)
Aku membawa tubuh ringkih seperti pohon yang sebentar lagi tumbang
Atau seperti gamelan air yang hilang di tepi pagi
Di tepi pagi yang akrab dengan disentri
Telah hilang dongeng Ibu,.
Atau kelembutan tangan nenek untuk mencari kutu
Begitu aku kehilangan semua kenangan
Kehilangan semua yang aku cintai
Ringkih tubuh adalah perjalanan mencari kearipan
Sebelum tenggelam dan hilang
Resah..
"Aku terlahir kembali di pagi nanti
Merintis kembali sebuah harap yang pernah tertunda
Karena gelapnya malam, yang membuatku terdiam lama
Dalam sebuah angan,.
Angan-angan yang selalu mendahului kenyataan
Bahkan sampai nyaris kalahkan logika
yang seharusnya tertuang nyata dalam sebuah ikatan
Kini malamku pun seperti layaknya persidangan
selalu bergelut dengan rasa yang menggebu
Mungkin tepatnya bukan sebuah persidangan lagi
Karena dasarnya pun tak jelas,.
Hanya sebuah sebuah dilema atau kebimbangan saja
Tentang benar dan salah, atau perbedaan rasa yang ada
Antara ketulusan atau hanya nafsu belaka...
Minggu, 12 Februari 2012
CINTA DAN PAYUNG DIKALA HUJAN
Tidak terasa hidup menggiring langkah rapuh ku tersudut dalam kelemahan. Kawan, bila kalian pernah berfikir ada seseorang yang mampu bertahan dan setia dalam ketidak berdayaan pantaslah kalian menatap diriku. Dan bila kalian berfikir kenapa aku begini?? Aku sendiripun tidak pernah menyalahkan hidup. Hanya mungkin kesempatan yang tidak ku miliki. Payung-payung ku ini yang menuntun kemana hidup ku, kepada siapa ku mengais rupiah-rupiah receh yang tidak lebih jauh dari 10 kilometer dari istana kardus di sela-sela hiruk pikuk nafas metropolitan.
Aku fikir ini pertama kalinya aku merasa kehilangan dalam hidup. Friska, wanita itu menatap mata ku penuh rasa ingin tahu. Sudah lama aku tidak bertemu dan dia tidak menggunakan jasa payung ku, lama sekali. Pada hal aku telah membeli payung berwana merah muda khusus untuk dia gunakan. Dalam detik yang lebih cepat dari detik lainnya, apa yang ia ingin tahu dari lorong gelap tidak berpenghuni dan berbenda menarik dalam mata ku. Aku terlalu bodoh untuk itu, kawan. Bila mungkin kalian berada disana saat itu, mungkin sudikah kalian menerjemahkannya kepada ku.
“Sudah berapa lama kerja beginian??”
Akhhh!!! Pertanyaan itu selalu mengundah rasa rindu terlebih penasaran dalam pikiran ku?! Sampai saat ini aku tidak mengerti kenapa dia sampai mampu bertanya seperti itu. Hanya lelaki bodoh yang tidak merindukan paras cantiknya. Dan hanya lelaki bodoh seperti ku yang bisa-bisanya merindukannya. Mungkin andai saat ini ku bertemu dengannya kembali hanya pertanyaan tersebut, satu yang ku ingin dia ucapkan.
Dalan reduh redam lembutnya hujan.
“Lama ga ketemu yah!!!”
Entah bagaimana mengartikannya. Ini permintaan yang pertama dan yang terindah yang dikabulkan sang raja. Ku pandangi lagi paras menawan nan cantik, elok rupawan bagai langit sore tersiram anggur hingga berwarna violet orange yang anggun.
Tidak lama, kami jelajahi lantunan gemercik jarum-jarum hujan yang jatuh lembut di sekitar aroma tubunya, harum, menghanyutkan, nyaman penuh keanggunan. Dalam itu kami berbincang jauh, dalam tiap langkahnya pergi bekerja hingga dimana dia tinggal. Semua tentang dia. Aku?? Pantaslah diam dan penuh pasif. Tidak ada yang menarik yang bisa ku ceritakan kepadanya tentang diriku.
Tidak lama hanya sesingkat kaki melangkah. Dalam langkah pulang menuju istana kardus ku, dalam gemercik jarum hujan yang sudah mulai lelah berjatuhan, aku mengulang lagi semua, dalam detik yang baru saja di telan detik yang lain. Aku mengulang perkataannya dalam lamunan yang dalam. Aku sangat ingat dia bercerita dimana dia tinggal, jalan dalam gang rumahnya hingga warna pagar hijau yang di penuhi tanaman-tanaman menawan. Mawar, dalam semua langkah, dalam sepanjang pembicaraan, mawar mendominasi hal yang dia terjemahkan menjadi keindahan.
Ini minggu ke 8 setelah terakhir ku bertemu dengannya.
Dalam lamunan yang panjang aku bernyanyi dalam kepasrahan. Tidak pantaslah seorang aku merindunya. Aku berteriak dalam diri, “JAUHHHKAAANNNN BAYANGAANNNNYYYAAAA DARRRRIIII KUUUU!!!!!!!”
Aku berada di tempat yang sama ketika pertama dan terakhir aku dan dia bertemu. Dalam gemercik jarum hujan yang sama, dalam riuh redam lembutnya, semua sama. Aku berjalan menuju shelter bis tempat biasa ku mengantarnya disana, tidak kudapati dirinya. Dalam sela-sela para muda-mudi berbincang di tempat pertama kali dia bertanya
“Sudah berapa lama kerja beginian??”
Dalam hati ku yang mulai menguap tidak berdaya. Di atas langkah-langkah kaki kami menuju pembicaraan mawar yang anggun. Hingga plakat yang pernah ku ingat tentang nya.
Semua kosong dalam pencarian. Hingga saat ini aku menanti, aku mencari, aku berharap dalam ketidak berdayaan.
Tidak terasa hidup menggiring langkah rapuh ku tersudut dalam kelemahan. Kawan, bila kalian pernah berfikir ada seseorang yang mampu bertahan dan setia dalam ketidak berdayaan pantaslah kalian menatap diriku. Dan bila kalian berfikir kenapa aku begini?? Aku sendiripun tidak pernah menyalahkan hidup. Hanya mungkin kesempatan yang tidak ku miliki. Payung-payung ku ini yang menuntun kemana hidup ku, kepada siapa ku mengais rupiah-rupiah receh yang tidak lebih jauh dari 10 kilometer dari istana kardus di sela-sela hiruk pikuk nafas metropolitan.
Aku fikir ini pertama kalinya aku merasa kehilangan dalam hidup. Friska, wanita itu menatap mata ku penuh rasa ingin tahu. Sudah lama aku tidak bertemu dan dia tidak menggunakan jasa payung ku, lama sekali. Pada hal aku telah membeli payung berwana merah muda khusus untuk dia gunakan. Dalam detik yang lebih cepat dari detik lainnya, apa yang ia ingin tahu dari lorong gelap tidak berpenghuni dan berbenda menarik dalam mata ku. Aku terlalu bodoh untuk itu, kawan. Bila mungkin kalian berada disana saat itu, mungkin sudikah kalian menerjemahkannya kepada ku.
“Sudah berapa lama kerja beginian??”
Akhhh!!! Pertanyaan itu selalu mengundah rasa rindu terlebih penasaran dalam pikiran ku?! Sampai saat ini aku tidak mengerti kenapa dia sampai mampu bertanya seperti itu. Hanya lelaki bodoh yang tidak merindukan paras cantiknya. Dan hanya lelaki bodoh seperti ku yang bisa-bisanya merindukannya. Mungkin andai saat ini ku bertemu dengannya kembali hanya pertanyaan tersebut, satu yang ku ingin dia ucapkan.
Dalan reduh redam lembutnya hujan.
“Lama ga ketemu yah!!!”
Entah bagaimana mengartikannya. Ini permintaan yang pertama dan yang terindah yang dikabulkan sang raja. Ku pandangi lagi paras menawan nan cantik, elok rupawan bagai langit sore tersiram anggur hingga berwarna violet orange yang anggun.
Tidak lama, kami jelajahi lantunan gemercik jarum-jarum hujan yang jatuh lembut di sekitar aroma tubunya, harum, menghanyutkan, nyaman penuh keanggunan. Dalam itu kami berbincang jauh, dalam tiap langkahnya pergi bekerja hingga dimana dia tinggal. Semua tentang dia. Aku?? Pantaslah diam dan penuh pasif. Tidak ada yang menarik yang bisa ku ceritakan kepadanya tentang diriku.
Tidak lama hanya sesingkat kaki melangkah. Dalam langkah pulang menuju istana kardus ku, dalam gemercik jarum hujan yang sudah mulai lelah berjatuhan, aku mengulang lagi semua, dalam detik yang baru saja di telan detik yang lain. Aku mengulang perkataannya dalam lamunan yang dalam. Aku sangat ingat dia bercerita dimana dia tinggal, jalan dalam gang rumahnya hingga warna pagar hijau yang di penuhi tanaman-tanaman menawan. Mawar, dalam semua langkah, dalam sepanjang pembicaraan, mawar mendominasi hal yang dia terjemahkan menjadi keindahan.
Ini minggu ke 8 setelah terakhir ku bertemu dengannya.
Dalam lamunan yang panjang aku bernyanyi dalam kepasrahan. Tidak pantaslah seorang aku merindunya. Aku berteriak dalam diri, “JAUHHHKAAANNNN BAYANGAANNNNYYYAAAA DARRRRIIII KUUUU!!!!!!!”
Aku berada di tempat yang sama ketika pertama dan terakhir aku dan dia bertemu. Dalam gemercik jarum hujan yang sama, dalam riuh redam lembutnya, semua sama. Aku berjalan menuju shelter bis tempat biasa ku mengantarnya disana, tidak kudapati dirinya. Dalam sela-sela para muda-mudi berbincang di tempat pertama kali dia bertanya
“Sudah berapa lama kerja beginian??”
Dalam hati ku yang mulai menguap tidak berdaya. Di atas langkah-langkah kaki kami menuju pembicaraan mawar yang anggun. Hingga plakat yang pernah ku ingat tentang nya.
Semua kosong dalam pencarian. Hingga saat ini aku menanti, aku mencari, aku berharap dalam ketidak berdayaan.
Langganan:
Postingan (Atom)